Peter Thiel dalam bukunya yang berjudul Zero to One mendefinisikan rahasia tentang orang sebagai sesuatu yang tidak diketahui tentang diri sendiri atau hal-hal yang disembunyikan orang karena tidak ingin orang lain mengetahuinya.
Pada kasus facebook pada dasarnya dibangun atas rahasia yang tidak menyenangkan tentang orang-orang yang ditemukan oleh Zuckerberg sewaktu masih kuliah di Harvard. Zurkerberg membangun website bagi teman-teman sesama mahasiswa dan diberi nama Facemash. Facemash menampilkan foto dua mahasiswa Harvard, lalu meminta mahasiswa-mahasiswa lain menilai siapa yang lebih menarik.
Website tersebut justru disambut dengan kemarahan oleh berbagai kelompok. Ada yang menyebutkan bahwa Zuckerberg “mengungkit sisi paling buruk” seseorang. Namun, sebelum pihak berwenang di Harvard menutup akses internet Zuckerberg—hanya beberapa jam setelah website tersebut diluncurkan—450 orang telah melihat website tersebut dan memberikan pilihan sebanyak 22 ribu kali pada gambar-gambar yang berbeda.
Zuckerberd mempelajari rahasia yang penting: orang bisa mengaku marah, mereka bisa mengumumkan bahwa sesuatu buruk, tetapi mereka tetap membuka situs itu. Satu hal lagi yang dia pelajari: terlepas dari semua klaim mereka tentang keseriusan, tanggung jawab, dan rasa hormat pada privasi orang lain, orang; bahkan mahasiswa Harvard, memiliki minat yang besar untuk mengevaluasi penampilan orang lain. Jumlah orang yang melihat dan memilih memberitahunya hal itu. Dan belakangan—karena Facemash terbukti terlalu mengundang perdebatan—dia memanfaatkan pengetahuan tentang betapa besar minat orang terhadap fakta-fakta permukaan tentang orang lain ini untuk mendirikan perusahaan paling sukses pada generasinya.
Netflix memetik pelajaran serupa: jangan mempercayai apa yang orang katakan kepada Anda; percayalah pada apa yang mereka lakukan. Semula perusahaan tersebut membolehkan pengguna membuat daftar urutan film yang ingin mereka tonton di hari-hari mendatang tapi belum bisa mereka tonton saat ini. Dengan cara ini, ketika mereka punya waktu lebih banyak, Netflix bisa mengingatkan mereka tentang film-film itu.
Kendati demikian, Netflix menyadari sesuatu yang ganjil dalam data mereka. Para pengguna mengisi daftar urutan dengan banyak film. Namun belakangan, ketika diingatkan tentang film-film di antrian itu, mereka malah jarang menontonnya.
Apa masalahnya? Tanyakan kepada pengguna apa film yang ingin mereka tonton dalam beberapa hari maka mereka akan mengisi daftar dengan film-film berselera tinggi, seperti dokumenter Perang Dunia II atau film asing yang serius. Namun, beberapa hari kemudian mereka ingin menonton film yang sama seperti yang biasanya ingin mereka tonton: komedi murahan atau film percintaan. Orang secara konsisten berbohong pada diri sendiri.
Dikutip dari: Everybody Lies ~ "Seth Stephens-Davidowitz"
No comments:
Post a Comment
Give Your Comments.