Begitu banyak kasus terjadi, di mana organisasi yang pernah sukses bahkan terbaik di bidangnya menjadi korban disrupsi inovasi. Hal menarik lainnya, organisasi tersebut bukan dikarenakan mereka tidak kompetitif justru mereka terperangkap dalam kesuksesannya. Hal ini bisa terjadi menurut O’Connor & Peters (2018) disebabkan dua hal utama.
Yang pertama ialah core capabilities become core rigidities. Faktor kesuksesan ternyata menjadi salah satu penghalang banyak organisasi untuk berubah dan beradaptasi dengan perubahan, baik dari pesaing hingga perubahan kebutuhan pasar. Dengan dalih menjadikannya standar operational excellence maka eksplorasi, learning, dan eksperimentasi yang diperlukan untuk menghasilkan inovasi menjadi terhambat bahkan terlupakan. Core capability organisasi berubah menjadi belenggu berat yang mengikat organisasi untuk menciptakan inovasi baru.
Seperti halnya pada organisasi atau perusahaan Nokia, Kodak, Blackberry dan masih banyak merek besar lainnya. Bahkan sebuah negara seperti Venezuela dan Nauru ikut terperangkat dalam sukses ekonomi masa lalunya.
Penyebab kedua yang perlu diperhatikan, yakni faktor kepemimpinan, terutama di tingkatan strategis atau senior. Adanya tekanan evaluasi performa jangka pendek serta masa jabatan kepemimpinan senior yang terbatas, seolah-olah organisasi diarahkan untuk mempunyai kepemimpinan yang menghindari upaya inovasi. Hal ini dikarenakan jalan aman adalah hany melakukan perbaikan dan perubahan bertahap atas hal-hal yang sudah ‘dikenal’ dan memberikan hasil yang konkrit di depan mata secara langsung.
Pemimpin cenderung menghindari risiko kegagalan yang mungkin saja timbul atas upaya dalam membuat terobosan baru karena harus memasuki wilayah atau domian yang belum dikenal. Ditambah lagi dengan memasuki berbagai kolaborasi serta eksperiman yang dipenuhi dengan ketidakpastian.
No comments:
Post a Comment
Give Your Comments.