Kemiskinan sering dipahami sebagai kekurangan harta yang membuat seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Dalam bahasa Arab, kata 'miskin' ini berakar dari kata sakana, yaskunu, sukun, yang secara harfiah berarti 'diam, tidak bergerak'. Jadi miskin di sini menunjuk pada kondisi stagnan, tanpa perubahan aktivitas dan dinamika dalam hidup.
Kemiskinan harus segera ditanggulangi dan dicegah tumbuh. Dalam Islam, kemiskinan dipandang sebagai kondisi yang membahayakan, terutama bagi akidah. Maka, menghilangkan kemiskinan adalah fardhu kifayah hukumnya.
Untuk mencegah dan mengatasi kemiskinan, kita perlu memperhatikan minimal tiga perkara. Pertama, memahami dengan benar sikap dan pandangan Al-Qur'an tentang kemiskinan itu sendiri. Dalam Al-Qur'an, Allah justru memberi pujian pada hidup yang berkecukupan, dalam konteks pemberian aneka macam nikmat kepada Nabi Saw.
"Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan" (ad-Dhuha:8)
Kedua, melepaskan diri dari teologi jabbariyah, yang fatalistik. Sebagian kaum muslimin masih berpandangan bahwa kemiskinan adalah takdir yang tak dapat diubah. Ada lagi yang menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang mulia dan kondisi untuk mencapai derajat takwa. Pandangan seperti ini justru bertentangan dengan semangat pengentasan kemiskinan. Ketiga, membangun etos kerja yang kuat. Dalam Islam, kerja dinamakan amal, dan amal adalah ibadah yang berpahala. Iman menjadi fungsional dalam kehidupan hanya dengan amal.
Dalam konteks ini, Nabi saw. pernah berpesan, "Sekiranya salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggung dan menjuallnya, maka aktivitas itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, baik ia diberi atau ditolak" (HR. Bukhari)
*** Efvy in Refleksi Diri ***
Sumber: 99 Nasihat Penyelamat Hidup (Abu Jamal Ba'adillah)
No comments:
Post a Comment
Give Your Comments.